Langsung ke konten utama

Pemerolehan Semantik dalam Psikolinguistik oleh Cecep Jaenudin


MAKALAH

Pemerolehan Semantik dalam Psikolinguistik

Disusun guna memenuhi matakuliah Psikolinguistik
Dosen Pengampu: Dr. Uki Sukiman, M.Ag


logo_uin.jpg
















Disusun oleh

Cecep Jaenudin, S.Pd.I
1620411022




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2017





Pemerolehan Semantik dalam Psikolinguistik
A.      Pendahuluan
Ferdinand de Saussure salah seorang ahli bahasa modern pernah mengatakan bahwa makna adalah "pengertian" atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Disamping itu ada juga yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain daripada sesuatu/referen yang diacu oleh kata/leksem itu. Semantik merupakan salah satu objek garapan yang dibahas dalam linguistik, dalam istilah arab ini dikenal dengan Ilmu ad-Dilalah (ilmu yang mempelajari makna kata). Semantik secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai, semantik mengandung pengertian studi tentang makna[1].
Dalam proses menyusun dan memahami pesan lewat kode kebahasaan, unsur-unsur kejiwaan seperti kesadaran batin, pikiran, asosiasi, maupun pengalaman, jelas tidak dapat diabaikan. Untuk mengkaji pemerolehan bahasa, di samping teori sintaksis, perlu dikaji pula bentuk makna dan arti kata melalui kajian semantik[2]. Berikut adalah beberapa teori – hipotesis yang memiliki keterkaitan dengan pemerolehan semantik.

B.     Teori – Teori Pemerolehan Semantik
1.       Teori fitur
Untuk dapat mangkaji pemerolehan semantik kanak-kanak kita perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan makna atau arti itu. Menurut salah satu teori semantik yang baru, maka dapat dijelaskan berdasarkan yang disebut fitur-fitur atau penanda-penanda semantik. Ini berarti, makna sebuah kata merupakan gabungan dari fitur-fitur semantik ini[3].
Teori fitur mengatakan bahwa konsep terbentuk dari sekelompok unit yang lebih kecil yang dinamakan fitur. Konsep mengenai objek yang dinamakan kucing, misalnya, mempunyai sekelompok fitur yakni, (a) berkaki empat,(b) bermata dua, (c) bertelinga dua, (d) berhidung satu, (e) berkumis, (f) berbulu, (g) berwarna putih, hitam, coklat dan lainnya[4].
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa anak-anak dapat memahami sebuah makna dari suatu konsep dengan adanya tanda-tanda atau fitu-fitur yang memudahkan ia dalam memahami konsep teresebut. Untuk lebih jelas dapat di contohkan, seekor sapi memiliki tubuh gemuk, berbadan besar, berkaki empat, memiliki dua mata yang besar, bertelinga dua, berwarna kuning dan lainnya. Ketika seorang anak melihat seekor sapi, maka ia memahami bahwa sapi itu sperti ini (tanda yang telah dijelaskan di atas) atau seorang anak mendengar kata “sapi” maka ia akan memahami sebagaimana ciri atau tanda yang pernah ia lehat sebelumnya. Dan bisa juga dicontohkan lagi, ketika anak melihat seekor kerbau ia juga akan mengatakan bahwa itu sapi karena memiliki tanda hampir sama dengan sapi. Beginilah anak-anak memperoleh sebuah makna dari suatu konsep menurut teori fitur ini.
Dalam teori ini diyakini kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantik itu dikuasai, seperti halnya pada orang dewasa. Contoh pemerolehan semantik ini, menurut Clark, pada mulanya kanak-kanak berbahasa Inggris menyebut semua bintaag berkaki empat doggie (anjing) atau kitty (kucing), atau apa saja larena mulanya kanak-kanak itu hanya menguasai beberapa fitur semantik. Yakni [+human], [+animal}, dan [+four legged]. Seiring perkembangan usianya fitur-fitur semantik lain juga dikuasai sehingga pada umur tertentu kanak-kanak itu dapat membedakan dogie dan kitty.
Simanjuntak meneliti tiga kanak-kanak Malaysia, R, S, dan E. R, menyebut apel ddengan bunyi [apoi}, buah magga, jeruk, peer dan buah-buah lainnya disebut juga [apoi]. Pada S, ditemui dia menyebut lembu dengan [bo], dan kata itu digunakannya juga untuk menyebut kuda, kerbau, singa, dan harimau. Begitu juga binatang berkaki empat lainnya. Sementara pada E, ditemui dia mengucapkan [kico] untuk cecak. Kata ini pun digunakan untuk menyebut binatang lain seperti buaya, biawak, ular, dan binatang melata lainnya[5].
Kondisi ini dialami anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa. Pengenalan berdasarkan fitur-fitur ini mengacu pada bentuk, ukuran, bunyi, rasa, dan gerak dan hal lain dari kata-kata baru. Menurut Clark proses pemerolehan ini dicontohkannya dalam pemerolehan kata apel oleh anak-anak. Fitur semantik yang terbentuk pada kata apel [+kecil] dan [+bundar]. Fitur semantik berdasarkan ukuran dan bentuk ini digunakan juga untuk menyebut benda-benda lain yang serupa sebagai apel. Misalnya tombol pintu, bola karet, mangga. Tetapi pada perkembangan berikutnya dia akan mengetahui bahwa benda itu berbeda. Ada apel, ada tombol pintu, ada bola kare[6]t.
Untuk fitur yang mengacu bentuk, kanak-kanak awalnya menerima konsep buah rambutan karena bentuknya ditumbuhi rambutan. Jagung pun disebutnya rambutan. Begitu juga buah durian yang dipenuhi duri. Makanya ketika bertemu nangka ataupun cempedak, dia menyebutnya durian juga.
Begitu juga untuk fitur yang mengacu pada bunyi[7]. Kata guguk digunakan untuk menyebut anjing. Itu juga digunakan untuk menyebut sapi, kambing. Tetapi pada perkembangannya dia akan membedakannya berdasarkan bunyi. Ada yang disebutnya cecak, karena bunyinya ce-cak, ce-cak. Atau tokek untuk menyebut binatang tokek karena bunyinya to-kek, to-kek. Dan meong untuk kucing. Jadi fitur-fitur semantik yang terbentuk akan terbedakan berdasarkan bunyi. Maka selain anjing, ada binatang lain yang dikenalnya yakni sapi, kucing, dan kambing. Binatang ini mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda.
Untuk fitur yang mengacu rasa, misalnya ditemukan pada kata susu. Awalnya fitur yang terbentuk pada minuman adalah sama. Tidak ada beda antara susu, teh, air putih, maupun obat sirup. Tapi berdasarkan rasa, nanti fitur yang terbentuk akan membedakan antara susu, teh, kopi, dan obat sirup. Begitupun fitur yang mengacu gerak. Binatang yang geraknya menjalar disebutnya ular. Kalau bergerak ke atas naik, ke bawah turun. Ke samping kiri atau kanan. Maju atau mundur, dengan kode gerakan tangan. Juga mendekat, atau menjauh. Berlari, dengan menirukan gerakan berlari. Makan, dengan menggerakkan tangan ke arah mulut.
Pemerolehan makna berdasarkan teori ini juga mengacu pada medan makna atau medan semantik. Menurut Chaer. “Pemerolehan makna kata juga berdasarkan kata yang berada dalam satu medan makna atau medan semantik.” Umpamanya, kata bawang, cabe, garam, terasi, dan jahe adalah kata-kata yang berada dalam saru medan semantik karena kelimanya menyatakan makna ‘bumbu dapur. Kanak-kanak memperoleh makna kata baru berdasarkan fitur-fitur persepsi dan kategori yang sama yang ada dalam butir-butir leksikal[8].
Asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik adalah sebagai berikut.
(a)    fitur-fitur makna yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.
(b)   Karena pengalaman kanak-kanak mengenai dunia dan mengenai bahasa masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka kanak-kanak hanya akan menggunakan dua atau tiga fitur saja untuk sebuah kata sebagai masukan leksikon.
(c)    Karena pemilihan fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman kanak-kanak sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi persepsi atau pengamatan.
Jadi , apabila orang dewasa mengucapkan kata-kata dalam konteks dan situasi yang yang dikenal oleh kanak-kanak, maka pengenalan ini akan menolong kanak-kanak itu memperoleh makna kata-kata itu berdasrkan bentuk, ukuran, bunyi, rasa, gerak dan lain-lain dari kata-kata baru itu. Lalu karena hanya beberapa fitur semantic yang digunakan oleh kanak-kanak untuk memperoleh makna kata pada tahap permulaan ini (antara satu -dua tahun setengah), maka penerapan berlebihan dari makna-makna ini tidak dapat dielakan ; dan ini merupakan ciri khas pemerolehan makna oleh kanak-kanak[9].
Clark secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini kedalam emapt tahap, yaitu sebagai berikut.
(a)    Tahap penyempitan makna kata
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun (1:0 – 1:6). Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu. Jadi, yang disebut (meong) hanyalah kucing yang dipelihara di rumah saja. Begitu juga ( gukguk ) hanyalah anjing yang ada dirumah saja, tidak termasuk yang berada di luar rumah si anak.
(b)   Tahap Generalisasi berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu tahun setengah sampai dua tahun setengah (1:6 – 2:6). Pada tahap ini kanak-kanak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau gukguk dan kucing atau meong adalah semua binatang yang berkaki empat, termasuk kambinh dan kerbau.
(c)    Tahap medan semantik
Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai lima tahun (2:6 - 5:0). Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya, kalau pada mualanya kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat ; namun, setelah mereka mengenal kata kuda, kambing , dan harimau, maka anjing hanya berlaku untuk anjing saja.
(d)   Tahap generalisasi
Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantic yang sama. Pengenalan ini semakin sempurna jika kanak-kanak semakin bertanbah usianya. Jadi, ketika berusia antara 5 – 7 tahun mereka telah mampu mengenal yang dimaksud dengan heawan, yaitu semua mahluk yang termasuk hewan[10].
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kanak-kanak membutuhkan tahap-tahapan dalam memperoleh makna semantik, dan lingkungan sangat membantu kanak-kanak untuk memperoleh makna tersebut, karena dalam proses pemerolehan itu kanak-kanak menggunakan indranya. Jadi, semakin banyak kanak-kanak mengamati lingkungannya akan sangat membantu sekali dalam memperolah makna kata-kata dari suatu konsep.
2.      Hubungan-hubungan gramatikal
Teori ini diperkenalkan oleh Mc. Neil (1970), menurut Mc. Neil pada waktu dilahirkan kanak-kanak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam yang nurani. Oleh karena itu, kanak-kanak pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha membentuk satu “kamus makna kalimat” (sentence-meaning dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap holofrasis ini kanak-kanak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik kerana terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik hubungan hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia secara nurani sejak lahir. Sedangkan fitur-fitur semantik hanya perlu pada tahap lanjutan pemerolehan semantik ini.
Jika kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada usia dua tahun mereka baru memulai menguasai kamus makna kata berdasarkan makna kata untuk menggantikan makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya. Dia awalnya hanya mampu mengucapkan mama. Makna yang terkandung dalam kata itu, memanggil ibunya, menyampaikan informasi kepada ibunya tentang sesuatu yang dilaminya. Misalnya saja ketika celananya basah, ingin digendong atau paling sederhana dia hanya bisa menangis.
Setelah kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada usia (sekitar 2 tahun) mereka baru mulai menguasai kamus makna kata berdasarkan makna kata untuk menggantikan kamus makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya. Contohnya Ma mim (Mama saya mau minum). Ma mam (Mama saya mau makan), Ma ndong (mama saya mau gendong). Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak yang dilakukan secara horizontal atau secara vertikal.
Secara horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam kamusnya[11]. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur lainnya secara berangsur-bangsur. Contoh: mim, minum susu, minum teh. Mam, makan bubur, makan nasi, makan pagi, makan siang, makan malam. Ndong, gendong papa, gendong belakang, gendong ayun. Secara vertikal artinya kanak-kanak secara serentak memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya, tetapi kata itu terpisah satu sama lain. Artinya, fitur ini sama dengan fitur-fitur semantik orang dewasa. Contoh: makan bubur-makan asam garam. Makan telur-makan hati. Anjing mati-Lampu mati. Ayam jantan-ayam kampung. Burung merpati-burung dipotong.

3.      Teori Generalisasi
Teori ini diperkenalkan oleh Anglin. Menurut Anglin perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti satu proses generalisasi, yaitu kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang konkret sampai yang abstrak. Pada tahap permulaan pemerolehan semantik ini kanak-kanak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret yang khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka membuat generalisasi terhadap kategori-kategori abstrak yang lebih besar. Umpamanya, pada awal perkembangan pemerolehan semantik kanak-kanak telah mengetahui kata-kata melati dan mawar melalui hubungan konkret antara kata itu dengan bunga-bunga tersebut. Pada tahap berikutnya setelah mereka semakin matang, mereka akan menggolongkan kata-kata ini dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya atau subordinatnya melalui generalisasi yaitu bunga[12].
Selanjutnya, setelah usia mereka semakin bertambah, maka mereka pun akan memasukkan bunga ke dalam kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu tumbuh-tumbuhan. Pemerolehan bahasa diterima kanak-kanak melalui proses generalisasi. Mereka semakin hari semakin memiliki perbendaharaan semantik yang makin luas. Ada ayam betina, manusia lelaki, ikan jantan. Tetapi tidak ada kursi jantan, mobil jantan, atau perahu betina. Contoh lain, generalisasi terhadap kendaraan tidak bermesin sepeda, becak, perahu, paralayang. Lalu ada sepeda motor, bemo, mocak, speedboat, helikopter.

4.      Teori Primitif Universal
Teori ini mula-mula diperkenalkan oleh Postal (1966), lalu dikembangkan oleh Bierswich (1970) dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada di dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitife-primitif semantik universal (yang kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan fitur-fitur semantik), dan rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif semantik ini dengan butir-butir leksikal. Sedangkan setiap primitif semantik itu mempunyai satu hubungan yang sudah ditetapkan sejak awal dengan dunia yang ditentukan oleh struktur biologi manusia itu sendiri.
Bierswich (1970) menyatakan bahwa primitif semantik atau komponen-komponen sementik ini mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang sudah ada sejak awal yang digunakan oleh manusia untuk mengolong-golongkan struktur benda-benda atau situasi-situasi yang diamati oleh manusia itu. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa primitf-primitif atau fitur-fitur semantik ini tidak mewakili ciri-ciri fisik luar dari benda-benda itu, tetapi mewakili keadaan-keadaan psikologi berdasarkan bagaimana manusia memproses keadaan sosial dengan fisiknya. Selajnjutnya ia menjelaskan bahwa dalam pemerolehan makna kanak-kanak tidak perlu mempelajari kompponen-komponen makna itu karena komponen-komponen itu telah tersedia sejak dia lahir. Yang dipelajari adalah hubungan-hubungan komponen ini dengan “ milik-milik” fonologi dan sintaksis bahasanya. Ini berarti bahwa manusia menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan primitif-primitif semantik yang telah tersedia sejak dia lahir. Dengan demikian hipotesisi primiti-primitif universal ini mau tidak mau harus menghubungkan perkembangan semantic kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak itu [13].
Manusia dengan demikian menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan primitif semantik yang telah tersedia sejak dia lahir. Dengan kata lain teori ini menghubungkan perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak itu. Karenanya kanak-kanak yang lahirnya di desa memiliki konsep-konsep alami yang ada di desa. Beberapa kosakata itu misalnya sawah, batu, sungai, gubuk, ayah, ibu, kakak, kepala desa. Bisa juga beberapa kata yang lebih bersifat natural atau yang alami seperti matahari, bulan dan bintang.
Kanak-kanak di pesisir, memperoleh konsep-konsep makna seperti pantai, pasir, laut, nelayan, jaring angin, ikan, udang, bulan, matahari, layar. Kanak-kanak di kota, memperoleh konssep-konsep dari sekelilingnya. Seperti televisi, radio, sekolah,  internet, teknologi, mal, sepatu, kemeja, kaos, rompi. Pemerolehan semantik kanak-kanak yang berbeda lingkungan sosialnya akan berbeda satu sama lain. Karena meskipun prinsip alaminya sama, tetapi pada perkembangannya akan berubah sesuai perkembangan kognitif dan sosial. Contohnya adalah malam tidak selamanya gelap bagi kanak-kanak di kota besar. Ada lampu, ada mal, ada suasana yang ramai, nonton televisi. Berbeda dengan di desa yang kalau malam hari gelap, sepi, tidur, bunyi jangkrik dan lain-lain.
Intinya, berdasarkan teori ini, konsep-konsep makna diperoleh kanak-kanak berdasarkan fitur-fitur alami di sekitarnya. Semakin luas lingkungan sosialnya berkembang semakin banyak pemerolehan semantik yang didapat. Perangkat-perangkatnya sama, sesuatu yang sudah ada dalam kehidupan manusia tersebut. Di zaman batu. Misalnya, manusia hanya mengenal perkakas dari batu. Pisau pun hanya dari batu yang dibuat bentuk khusus agar bisa digunakan memotong. Di kehidupan maju, konsep pisau dapur, pisau kue, gergaji, gergaji mesin, gunting sudah diterima kanak-kanak dari lingkungannya.

C.    Penutup
Dari pembahasan di atas, pemerolehan semantik diperoleh melalui berbagai cara dan tahap. Pertama, menurut teori fitur semantik, pemerolehan bahasa didapat melalui tahap-tahap dengan memberikan makna pada fitur-fitur yang ada pada kata dimaksud. Tekniknya melalui beberapa tahap, yakni penyempitan makna, generalisasi berlebihan, medan semantik dan generalisasi. Kedua, pemerolehan semantik menurut hubungan gramatikal berawal dari makna kalimat yang dibawa secara alami baru kemudian berkembang pada konsep makna kata. Ketiga, melalui generalisasi, pemerolehan semantik melalui tahap kata yang kongkret pada yang abstrak yang sesuai dengan makna yang ada pada orang dewasa. Keempat,Sementara teori prinsip primitif universal, pemerolehan semantik didapat melalui perangkat primitif yang tersedia sejak lahir dan dihubungkan dengan keadaan sosial. Pemerolehan semantik didapat saat kanak-kanak belajar bahasa pertama. Dan konsep ini dapat juga diterapkan dalam pemerolehan bahasa kedua.














Daftar Pustaka

Aminuddin. Semantik, Pengantar Studi tentang Makna. (Malang : Sinar Baru Algesindo, 2003 )
Chaer, Abdul.  Linguistik Umum. (Jakarta: Rineka Cipta, 2014)
-----------. Psikolinguistik Kajian Teoritik. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003 )

Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik : Pengantar Pemahaman Manusia. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003)
Harras, Kholid A dan Andhika Dutha Bachari.  Dasar-Dasar Psikolinguistik. (Depok: UI Press, 2009)
Maksan, Marjusman. Psikolinguistik. (Padang: IKIP Padang Press, 1995)
Simanjuntak, Mangantar . Pengantar Psikolinguistik Modern. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990)
Verhaar, J.W.M.  Asas-Asas Linguistik Umum. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010).



[1] Aminuddin, Semantik, Pengantar Studi tentang Makna, (Malang : Sinar Baru Algesindo, 2003 ), hlm. 15
[2] Marjusman Maksan, Psikolinguistik, (Padang: IKIP Padang Press, 1995), hlm 15
[3]Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003 ), hlm. 194-195
[4]Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik : Pengantar Pemahaman Manusia, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 181
[5]Mangantar Simanjuntak, Pengantar Psikolinguistik Modern, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990)
[6] Kholid A Harras dan Andhika Dutha Bachari, Dasar-Dasar Psikolinguistik, (Depok: UI Press, 2009), hlm 50
[7] J.W.M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm 386
[8] J.W.M. Verhaar, Asas…, hlm 388
[9]Abdul Chaer, Psikolinguistik…, hlm. 195-196
[10]Abdul Chaer, Psikolinguistik…, hlm. 195-196

[11] J.W.M. Verhaar, Asas…, hlm 388

[12] Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hlm 289
[13]Abdul Chaer, Psikolinguistik…, hlm. 199.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Dalam penyusunan karya ilmiah baik jenjang Sarjana, Magister, Doktor aka nada kesamaan dalam penyusunannya, seperti yang dikatakan oleh Radjasa bahwa dari ketiga jenjang tersebut materinya akan sama, hanya saja terdapat bagian lebih spesifik yang akan membedakannya. Setiap penelitian ilmiah akan banyak bersandarkan dan bergantung kepada kepustakaan. Dan seperti yang dimaklumi bahwa hasil penelitian yang sudah ada belumlah bersifat final. Artinya masih terbuka kesempatan bagi orang lain untuk mengoreksi dan bila perlu menguji hasilnya agar ada kesempurnaan. Untuk dapat mempersoalkannya harus betul-betul mendalami mengenai tulisan-tulisan dari kepustakaan. Salah satu bagian yang penting dalam karya ilmiah adalah tinjauan pustaka, kita ingat bahwa karya tulis ilmiah adalah karya yang ditulis berdasarkan prosedur-prosedur ilmiah. Oleh karena itu,makalah ini melanjutkan dari pembahasan sebelumnya dan akan membahas tentang tin...