MAKALAH
Pemerolehan
Semantik dalam Psikolinguistik
Disusun
guna memenuhi matakuliah Psikolinguistik
Dosen
Pengampu: Dr. Uki Sukiman, M.Ag
Disusun
oleh
Cecep
Jaenudin, S.Pd.I
1620411022
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2017
Pemerolehan Semantik dalam Psikolinguistik
A. Pendahuluan
Ferdinand
de Saussure salah seorang ahli bahasa modern pernah mengatakan bahwa makna
adalah "pengertian" atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada
sebuah tanda linguistik. Disamping itu ada juga yang menyatakan bahwa makna itu
tidak lain daripada sesuatu/referen yang diacu oleh kata/leksem itu. Semantik
merupakan salah satu objek garapan yang dibahas dalam linguistik, dalam istilah
arab ini dikenal dengan Ilmu ad-Dilalah (ilmu yang mempelajari makna
kata). Semantik secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to
signify atau memaknai, semantik mengandung pengertian studi tentang
makna[1].
Dalam proses menyusun dan memahami pesan lewat kode kebahasaan,
unsur-unsur kejiwaan seperti kesadaran batin, pikiran, asosiasi, maupun
pengalaman, jelas tidak dapat diabaikan. Untuk mengkaji pemerolehan bahasa, di
samping teori sintaksis, perlu dikaji pula bentuk makna dan arti kata melalui
kajian semantik[2].
Berikut adalah beberapa teori – hipotesis yang memiliki keterkaitan dengan
pemerolehan semantik.
B. Teori – Teori Pemerolehan Semantik
1.
Teori fitur
Untuk
dapat mangkaji pemerolehan semantik kanak-kanak kita perlu terlebih dahulu
memahami apa yang dimaksud dengan makna atau arti itu. Menurut salah satu teori
semantik yang baru, maka dapat dijelaskan berdasarkan yang disebut fitur-fitur
atau penanda-penanda semantik. Ini berarti, makna sebuah kata merupakan
gabungan dari fitur-fitur semantik ini[3].
Teori
fitur mengatakan bahwa konsep terbentuk dari sekelompok unit yang lebih kecil
yang dinamakan fitur. Konsep mengenai objek yang dinamakan kucing, misalnya,
mempunyai sekelompok fitur yakni, (a) berkaki empat,(b) bermata dua, (c)
bertelinga dua, (d) berhidung satu, (e) berkumis, (f) berbulu, (g) berwarna putih,
hitam, coklat dan lainnya[4].
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa anak-anak dapat memahami sebuah makna
dari suatu konsep dengan adanya tanda-tanda atau fitu-fitur yang memudahkan ia
dalam memahami konsep teresebut. Untuk lebih jelas dapat di contohkan, seekor
sapi memiliki tubuh gemuk, berbadan besar, berkaki empat, memiliki dua mata
yang besar, bertelinga dua, berwarna kuning dan lainnya. Ketika seorang anak
melihat seekor sapi, maka ia memahami bahwa sapi itu sperti ini (tanda yang
telah dijelaskan di atas) atau seorang anak mendengar kata “sapi” maka ia akan
memahami sebagaimana ciri atau tanda yang pernah ia lehat sebelumnya. Dan bisa
juga dicontohkan lagi, ketika anak melihat seekor kerbau ia juga akan
mengatakan bahwa itu sapi karena memiliki tanda hampir sama dengan sapi.
Beginilah anak-anak memperoleh sebuah makna dari suatu konsep menurut teori
fitur ini.
Dalam
teori ini diyakini kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara
menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur
semantik itu dikuasai, seperti halnya pada orang dewasa. Contoh pemerolehan
semantik ini, menurut Clark, pada mulanya kanak-kanak berbahasa Inggris
menyebut semua bintaag berkaki empat doggie (anjing) atau kitty
(kucing), atau apa saja larena mulanya kanak-kanak itu hanya menguasai beberapa
fitur semantik. Yakni [+human], [+animal}, dan [+four legged]. Seiring
perkembangan usianya fitur-fitur semantik lain juga dikuasai sehingga pada umur
tertentu kanak-kanak itu dapat membedakan dogie dan kitty.
Simanjuntak
meneliti tiga kanak-kanak Malaysia, R, S, dan E. R, menyebut apel ddengan bunyi
[apoi}, buah magga, jeruk, peer dan buah-buah lainnya disebut juga [apoi]. Pada
S, ditemui dia menyebut lembu dengan [bo], dan kata itu digunakannya juga untuk
menyebut kuda, kerbau, singa, dan harimau. Begitu juga binatang berkaki empat lainnya.
Sementara pada E, ditemui dia mengucapkan [kico] untuk cecak. Kata ini pun
digunakan untuk menyebut binatang lain seperti buaya, biawak, ular, dan binatang
melata lainnya[5].
Kondisi
ini dialami anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa. Pengenalan berdasarkan
fitur-fitur ini mengacu pada bentuk, ukuran, bunyi, rasa, dan gerak dan hal
lain dari kata-kata baru. Menurut Clark proses pemerolehan ini dicontohkannya
dalam pemerolehan kata apel oleh anak-anak. Fitur semantik yang terbentuk pada
kata apel [+kecil] dan [+bundar]. Fitur semantik berdasarkan ukuran dan bentuk
ini digunakan juga untuk menyebut benda-benda lain yang serupa sebagai apel.
Misalnya tombol pintu, bola karet, mangga. Tetapi pada perkembangan berikutnya
dia akan mengetahui bahwa benda itu berbeda. Ada apel, ada tombol pintu, ada
bola kare[6]t.
Untuk
fitur yang mengacu bentuk, kanak-kanak awalnya menerima konsep buah rambutan
karena bentuknya ditumbuhi rambutan. Jagung pun disebutnya rambutan. Begitu
juga buah durian yang dipenuhi duri. Makanya ketika bertemu nangka ataupun
cempedak, dia menyebutnya durian juga.
Begitu
juga untuk fitur yang mengacu pada bunyi[7].
Kata guguk digunakan untuk menyebut anjing. Itu juga digunakan untuk menyebut
sapi, kambing. Tetapi pada perkembangannya dia akan membedakannya berdasarkan
bunyi. Ada yang disebutnya cecak, karena bunyinya ce-cak, ce-cak. Atau tokek
untuk menyebut binatang tokek karena bunyinya to-kek, to-kek. Dan meong untuk
kucing. Jadi fitur-fitur semantik yang terbentuk akan terbedakan berdasarkan
bunyi. Maka selain anjing, ada binatang lain yang dikenalnya yakni sapi,
kucing, dan kambing. Binatang ini mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda.
Untuk
fitur yang mengacu rasa, misalnya ditemukan pada kata susu. Awalnya fitur yang
terbentuk pada minuman adalah sama. Tidak ada beda antara susu, teh, air putih,
maupun obat sirup. Tapi berdasarkan rasa, nanti fitur yang terbentuk akan
membedakan antara susu, teh, kopi, dan obat sirup. Begitupun fitur yang mengacu
gerak. Binatang yang geraknya menjalar disebutnya ular. Kalau bergerak ke atas
naik, ke bawah turun. Ke samping kiri atau kanan. Maju atau mundur, dengan kode
gerakan tangan. Juga mendekat, atau menjauh. Berlari, dengan menirukan gerakan
berlari. Makan, dengan menggerakkan tangan ke arah mulut.
Pemerolehan
makna berdasarkan teori ini juga mengacu pada medan makna atau medan semantik.
Menurut Chaer. “Pemerolehan makna kata juga berdasarkan kata yang berada dalam
satu medan makna atau medan semantik.” Umpamanya, kata bawang, cabe, garam,
terasi, dan jahe adalah kata-kata yang berada dalam saru medan semantik karena
kelimanya menyatakan makna ‘bumbu dapur. Kanak-kanak memperoleh makna kata baru
berdasarkan fitur-fitur persepsi dan kategori yang sama yang ada dalam
butir-butir leksikal[8].
Asumsi-asumsi
yang menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik adalah sebagai berikut.
(a) fitur-fitur
makna yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa fitur makna yang
digunakan oleh orang dewasa.
(b) Karena
pengalaman kanak-kanak mengenai dunia dan mengenai bahasa masih sangat terbatas
bila dibandingkan dengan pengalaman orang dewasa, maka kanak-kanak hanya akan
menggunakan dua atau tiga fitur saja untuk sebuah kata sebagai masukan
leksikon.
(c)
Karena pemilihan
fitur-fitur yang berkaitan ini didasarkan pada pengalaman kanak-kanak
sebelumnya, maka fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi
persepsi atau pengamatan.
Jadi
, apabila orang dewasa mengucapkan kata-kata dalam konteks dan situasi yang
yang dikenal oleh kanak-kanak, maka pengenalan ini akan menolong kanak-kanak
itu memperoleh makna kata-kata itu berdasrkan bentuk, ukuran, bunyi, rasa,
gerak dan lain-lain dari kata-kata baru itu. Lalu karena hanya beberapa fitur
semantic yang digunakan oleh kanak-kanak untuk memperoleh makna kata pada tahap
permulaan ini (antara satu -dua tahun setengah), maka penerapan berlebihan dari
makna-makna ini tidak dapat dielakan ; dan ini merupakan ciri khas pemerolehan
makna oleh kanak-kanak[9].
Clark
secara umum menyimpulkan perkembangan pemerolehan semantik ini kedalam emapt
tahap, yaitu sebagai berikut.
(a)
Tahap
penyempitan makna kata
Tahap ini berlangsung antara umur satu
sampai satu setengah tahun (1:0 – 1:6). Pada tahap ini kanak-kanak menganggap
satu benda tertentu yang dicakup oleh satu makna menjadi nama dari benda itu.
Jadi, yang disebut (meong) hanyalah kucing yang dipelihara di rumah saja.
Begitu juga ( gukguk ) hanyalah anjing yang ada dirumah saja, tidak termasuk
yang berada di luar rumah si anak.
(b)
Tahap
Generalisasi berlebihan
Tahap ini berlangsung antara usia satu
tahun setengah sampai dua tahun setengah (1:6 – 2:6). Pada tahap ini
kanak-kanak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi,
yang dimaksud dengan anjing atau gukguk dan kucing atau meong adalah semua
binatang yang berkaki empat, termasuk kambinh dan kerbau.
(c) Tahap
medan semantik
Tahap
ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai lima tahun (2:6 - 5:0).
Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke
dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika makna
kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah
kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai
oleh kanak-kanak. Umpamanya, kalau pada mualanya kata anjing berlaku untuk
semua binatang berkaki empat ; namun, setelah mereka mengenal kata kuda,
kambing , dan harimau, maka anjing hanya berlaku untuk anjing saja.
(d) Tahap
generalisasi
Tahap
ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini
kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut
persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantic yang sama.
Pengenalan ini semakin sempurna jika kanak-kanak semakin bertanbah usianya.
Jadi, ketika berusia antara 5 – 7 tahun mereka telah mampu mengenal yang
dimaksud dengan heawan, yaitu semua mahluk yang termasuk hewan[10].
Dari penjelasan di atas
terlihat bahwa kanak-kanak membutuhkan tahap-tahapan dalam memperoleh makna
semantik, dan lingkungan sangat membantu kanak-kanak untuk memperoleh makna
tersebut, karena dalam proses pemerolehan itu kanak-kanak menggunakan indranya.
Jadi, semakin banyak kanak-kanak mengamati lingkungannya akan sangat membantu
sekali dalam memperolah makna kata-kata dari suatu konsep.
2.
Hubungan-hubungan
gramatikal
Teori
ini diperkenalkan oleh Mc. Neil (1970), menurut Mc. Neil pada waktu dilahirkan
kanak-kanak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam yang
nurani. Oleh karena itu, kanak-kanak pada awal proses pemerolehan bahasanya
telah berusaha membentuk satu “kamus makna kalimat” (sentence-meaning
dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua hubungan
gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrasis. Pada tahap
holofrasis ini kanak-kanak belum mampu menguasai fitur-fitur semantik kerana
terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal pemerolehan semantik hubungan
hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena telah tersedia secara
nurani sejak lahir. Sedangkan fitur-fitur semantik hanya perlu pada tahap lanjutan
pemerolehan semantik ini.
Jika
kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada usia dua tahun mereka baru
memulai menguasai kamus makna kata berdasarkan makna kata untuk menggantikan
makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya. Dia awalnya hanya mampu
mengucapkan mama. Makna yang terkandung dalam kata itu, memanggil ibunya,
menyampaikan informasi kepada ibunya tentang sesuatu yang dilaminya. Misalnya
saja ketika celananya basah, ingin digendong atau paling sederhana dia hanya
bisa menangis.
Setelah
kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata pada usia (sekitar 2 tahun) mereka
baru mulai menguasai kamus makna kata berdasarkan makna kata untuk menggantikan
kamus makna kalimat yang telah dikuasai sebelumnya. Contohnya Ma mim
(Mama saya mau minum). Ma mam (Mama saya mau makan), Ma ndong
(mama saya mau gendong). Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan
perkembangan kosakata kanak-kanak yang dilakukan secara horizontal atau secara
vertikal.
Secara
horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur
semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam kamusnya[11].
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur
lainnya secara berangsur-bangsur. Contoh: mim, minum susu, minum teh. Mam,
makan bubur, makan nasi, makan pagi, makan siang, makan malam. Ndong, gendong
papa, gendong belakang, gendong ayun. Secara vertikal artinya kanak-kanak
secara serentak memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya,
tetapi kata itu terpisah satu sama lain. Artinya, fitur ini sama dengan
fitur-fitur semantik orang dewasa. Contoh: makan bubur-makan asam garam. Makan
telur-makan hati. Anjing mati-Lampu mati. Ayam jantan-ayam kampung. Burung
merpati-burung dipotong.
3.
Teori
Generalisasi
Teori
ini diperkenalkan oleh Anglin. Menurut Anglin perkembangan semantik kanak-kanak
mengikuti satu proses generalisasi, yaitu kemampuan kanak-kanak melihat
hubungan-hubungan semantik antara nama-nama benda (kata-kata) mulai dari yang
konkret sampai yang abstrak. Pada tahap permulaan pemerolehan semantik ini
kanak-kanak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret yang khusus di
antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah mereka membuat generalisasi
terhadap kategori-kategori abstrak yang lebih besar. Umpamanya, pada awal
perkembangan pemerolehan semantik kanak-kanak telah mengetahui kata-kata melati
dan mawar melalui hubungan konkret antara kata itu dengan bunga-bunga
tersebut. Pada tahap berikutnya setelah mereka semakin matang, mereka akan
menggolongkan kata-kata ini dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya
atau subordinatnya melalui generalisasi yaitu bunga[12].
Selanjutnya,
setelah usia mereka semakin bertambah, maka mereka pun akan memasukkan bunga
ke dalam kelompok-kelompok yang lebih tinggi, yaitu tumbuh-tumbuhan. Pemerolehan
bahasa diterima kanak-kanak melalui proses generalisasi. Mereka semakin hari
semakin memiliki perbendaharaan semantik yang makin luas. Ada ayam betina,
manusia lelaki, ikan jantan. Tetapi tidak ada kursi jantan, mobil jantan, atau
perahu betina. Contoh lain, generalisasi terhadap kendaraan tidak bermesin
sepeda, becak, perahu, paralayang. Lalu ada sepeda motor, bemo, mocak,
speedboat, helikopter.
4.
Teori
Primitif Universal
Teori
ini mula-mula diperkenalkan oleh Postal (1966), lalu dikembangkan oleh
Bierswich (1970) dengan lebih terperinci. Menurut Postal semua bahasa yang ada
di dunia ini dilandasi oleh satu perangkat primitife-primitif semantik
universal (yang kira-kira sama dengan penanda-penanda semantik dan fitur-fitur
semantik), dan rumus-rumus untuk menggabungkan primitif-primitif semantik ini
dengan butir-butir leksikal. Sedangkan setiap primitif semantik itu mempunyai
satu hubungan yang sudah ditetapkan sejak awal dengan dunia yang ditentukan
oleh struktur biologi manusia itu sendiri.
Bierswich
(1970) menyatakan bahwa primitif semantik atau komponen-komponen sementik ini
mewakili kategori-kategori atau prinsip-prinsip yang sudah ada sejak awal yang
digunakan oleh manusia untuk mengolong-golongkan struktur benda-benda atau
situasi-situasi yang diamati oleh manusia itu. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa
primitf-primitif atau fitur-fitur semantik ini tidak mewakili ciri-ciri fisik
luar dari benda-benda itu, tetapi mewakili keadaan-keadaan psikologi
berdasarkan bagaimana manusia memproses keadaan sosial dengan fisiknya.
Selajnjutnya ia menjelaskan bahwa dalam pemerolehan makna kanak-kanak tidak
perlu mempelajari kompponen-komponen makna itu karena komponen-komponen itu
telah tersedia sejak dia lahir. Yang dipelajari adalah hubungan-hubungan
komponen ini dengan “ milik-milik” fonologi dan sintaksis bahasanya. Ini
berarti bahwa manusia menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan
primitif-primitif semantik yang telah tersedia sejak dia lahir. Dengan demikian
hipotesisi primiti-primitif universal ini mau tidak mau harus menghubungkan
perkembangan semantic kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak
itu [13].
Manusia
dengan demikian menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan primitif semantik
yang telah tersedia sejak dia lahir. Dengan kata lain teori ini menghubungkan
perkembangan semantik kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum kanak-kanak
itu. Karenanya kanak-kanak yang lahirnya di desa memiliki konsep-konsep alami
yang ada di desa. Beberapa kosakata itu misalnya sawah, batu, sungai, gubuk, ayah,
ibu, kakak, kepala desa. Bisa juga beberapa kata yang lebih bersifat natural
atau yang alami seperti matahari, bulan dan bintang.
Kanak-kanak
di pesisir, memperoleh konsep-konsep makna seperti pantai, pasir, laut,
nelayan, jaring angin, ikan, udang, bulan, matahari, layar. Kanak-kanak di
kota, memperoleh konssep-konsep dari sekelilingnya. Seperti televisi, radio,
sekolah, internet, teknologi, mal,
sepatu, kemeja, kaos, rompi. Pemerolehan semantik kanak-kanak yang berbeda
lingkungan sosialnya akan berbeda satu sama lain. Karena meskipun prinsip
alaminya sama, tetapi pada perkembangannya akan berubah sesuai perkembangan
kognitif dan sosial. Contohnya adalah malam tidak selamanya gelap bagi
kanak-kanak di kota besar. Ada lampu, ada mal, ada suasana yang ramai, nonton
televisi. Berbeda dengan di desa yang kalau malam hari gelap, sepi, tidur,
bunyi jangkrik dan lain-lain.
Intinya,
berdasarkan teori ini, konsep-konsep makna diperoleh kanak-kanak berdasarkan
fitur-fitur alami di sekitarnya. Semakin luas lingkungan sosialnya berkembang
semakin banyak pemerolehan semantik yang didapat. Perangkat-perangkatnya sama,
sesuatu yang sudah ada dalam kehidupan manusia tersebut. Di zaman batu.
Misalnya, manusia hanya mengenal perkakas dari batu. Pisau pun hanya dari batu
yang dibuat bentuk khusus agar bisa digunakan memotong. Di kehidupan maju,
konsep pisau dapur, pisau kue, gergaji, gergaji mesin, gunting sudah diterima kanak-kanak dari lingkungannya.
C. Penutup
Dari
pembahasan di atas, pemerolehan semantik diperoleh melalui berbagai cara dan
tahap.
Pertama, menurut teori fitur
semantik, pemerolehan bahasa didapat melalui tahap-tahap dengan memberikan
makna pada fitur-fitur yang ada pada kata dimaksud. Tekniknya melalui beberapa
tahap, yakni penyempitan makna, generalisasi berlebihan, medan semantik dan
generalisasi. Kedua, pemerolehan
semantik menurut hubungan gramatikal berawal dari makna kalimat yang dibawa
secara alami baru kemudian berkembang pada konsep makna kata.
Ketiga, melalui generalisasi,
pemerolehan semantik melalui tahap kata yang kongkret pada yang abstrak yang
sesuai dengan makna yang ada pada orang dewasa. Keempat,Sementara teori prinsip primitif universal,
pemerolehan semantik didapat melalui perangkat primitif yang tersedia sejak
lahir dan dihubungkan dengan keadaan sosial. Pemerolehan semantik didapat saat kanak-kanak
belajar bahasa pertama. Dan konsep ini dapat juga diterapkan dalam pemerolehan
bahasa kedua.
Daftar Pustaka
Aminuddin. Semantik, Pengantar Studi tentang Makna. (Malang
: Sinar Baru Algesindo, 2003 )
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014)
-----------. Psikolinguistik
Kajian Teoritik. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003 )
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik : Pengantar
Pemahaman Manusia. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003)
Harras, Kholid
A dan Andhika Dutha Bachari. Dasar-Dasar
Psikolinguistik. (Depok: UI Press, 2009)
Maksan, Marjusman.
Psikolinguistik. (Padang: IKIP Padang Press, 1995)
Simanjuntak,
Mangantar . Pengantar Psikolinguistik Modern. (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1990)
Verhaar,
J.W.M. Asas-Asas Linguistik Umum.
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010).
[1] Aminuddin,
Semantik, Pengantar Studi tentang Makna, (Malang : Sinar Baru Algesindo,
2003 ), hlm. 15
[2] Marjusman
Maksan, Psikolinguistik, (Padang: IKIP Padang Press, 1995), hlm 15
[3]Abdul
Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003 ),
hlm. 194-195
[4]Soenjono
Dardjowidjojo, Psikolinguistik : Pengantar Pemahaman Manusia, (Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 181
[5]Mangantar Simanjuntak, Pengantar Psikolinguistik
Modern, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990)
[6] Kholid A
Harras dan Andhika Dutha Bachari, Dasar-Dasar Psikolinguistik, (Depok:
UI Press, 2009), hlm 50
[7] J.W.M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm 386
[8]
J.W.M. Verhaar, Asas…, hlm 388
[9]Abdul
Chaer, Psikolinguistik…, hlm. 195-196
[10]Abdul
Chaer, Psikolinguistik…, hlm. 195-196
[11]
J.W.M.
Verhaar, Asas…, hlm 388
[12]
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2014), hlm 289
[13]Abdul
Chaer, Psikolinguistik…, hlm. 199.
Komentar
Posting Komentar